Tour Dua Dunia

Halooo… sahabat SMK, berikut ada sebuah cerpen karya dari temen kita Ni Pande Putu Sonia Marthasia dari kelas XI AKL 1.
Selamat Membaca!

 

Tour Dua Dunia

 

Kelasku berencana mengadakan tour, tempat yang kami pilih adalah sebuah taman. Rencananya disana kami akan mengadakan lomba-lomba, karaoke, dan makan bersama.

Aku, Bella, Sena, dan Febby datang lebih awal untuk mencari tempat yang cocok untuk mengadakan piknik kecil-kecilan kelas kami. Taman ini dibagi-bagi menjadi beberapa plok. Di plok yang berada paling barat tempat pintu masuk sudah full dengan tamu lain yang mengadakan rekreasi, terpaksa yang tersisa hanya plok paling timur. Awal memasuki tempat ini perasaanku mulai aneh, padahal di perjalanan tadi langit tampak cerah, tapi ketika tiba di tempat ini langit mulai mendung.

Kejanggalan lainnya adalah yang melakukan piknik di daerah sini hanya anak-anak yang tidak didampingi oleh orang tua. Mereka memakai baju kaos berwarna polos. Anehnya lagi semua anak memakai jenis kaos yang sama, hanya dibedakan dari warna! Dari plok barat sampai ke timur. Sebenarnya di plok paling timur pun masih terdapat 2 orang anak kecil yang sibuk bermain bola.

Anak itu seperti tidak menghiraukan keberadaan kami, mereka juga sama-tidak didampingi orang tua. Aku menjadi semakin ragu dengan tempat ini. Pohoh tinggi mengintari setiap sudut taman seolah mencoba menyembunyikan keberadaan kami dengan langit, seolah agar kami semua tersembunyi di bawahnya.

“Dik main bolanya jangan sampai sore ya.. kakak disini mau piknik sama temen kakak.” Kataku menghampiri anak kecil yang memakai baju berwarna merah.

Sebelumnya ia tidak menoleh ke arahku namun setelah ku katakan sekali lagi sambil menepuk pundaknya, perlahan ia menoleh dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan. Wajahnya menatapku dengan ekspresi datar, kemudian berbicara pelan. “Iya kak.” Lalu tersenyum tipis.

Aku baru menyadari kalau wajahnya agak pucat, bibirnya kering dan bahunya yang kutepuk tadi mengalirkan sensasi yang berbeda. Bulu kudukku sempat merinding namun ku abaikan. Mungkin udara disini dingin. Pikirku.

Setelah mengatakan itu aku dan teman-temanku duduk di pinggir taman.

“Laper nok! Beli bakso yuk!” Ajak Febby. Kemudian kami semua sepakat membeli bakso.

Selama makan aku yang paling dulu selesai. Perhatianku selama makan terus tertuju pada batu yang dikelilingi pohon yang rindang. Batu tersebut tidak berwarna hitam ataupun coklat seperti batu pada umumnya. Batu tersebut berwarna cream dengan gurat-guratan merah. Di beberapa titik batu tersebut terdapat sebuah ukiran.

Aku yang semakin penasaran memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Ternyata dipinggir batu tersebut terdapat beberapa ukiran wajah! Ada yang menghadap ke atas, ke samping, dan ke depan. Bahkan ada yang agak rusak.

Kurogoh HP dari dalam saku jaket yang aku pakai. Ku arahkan kamera ke batu aneh yang dikelilingi pohon yang tinggi menjulang itu. Ketika menganggat kamera HP, tubuhku semakin terasa bergetar, tanganku dingin, dan bulu kudukku merinding tetapi entah naluri apa yang membuatku tetap bersikukuh untuk mengabadikan pemandangan aneh ini. Objek yang akan ku foto tidak bisa diam. Ku arahkan terus kameraku namun objek tersebut berputar, tidak bisa ku foto!

Ku tururnku kamera dan ku arahkan ulang. Namun hasilnya tetap sama. Objek tersebut tetap berputar.

“HEY!” Kata Sena menepuk pundakku. Membuatku agak terkejut. “Ngapain? Jangan difoto-foto! Gak boleh disini angker tau!” Celetuknya terlihat marah.

Apa yang Sena ketahui tentang tempat ini? Kenapa? Ada yang salah? Kenapa aku tidak bisa mengambil foto apapun?Puluhan pertanyaan bersarang di dalam kepalaku. Namun akhirnya aku memilih mengalah.

Teman-temanku sudah semua selesai makan namun yang lain belum juga datang. Dua anak kecil itu pun masih bermain disana walau jam di tanganku sudah menunjukan pukul 14.45. Kuputuskan memperingati anak itu sekali lagi. Anak yang berbaju merah itu kini berdiri di balik pohon yang berada di pinggir taman. Ia menatap bola yang ada di tangannya dengan tatapan kosong. Mungkin dia sudah lelah. Pikirku.

“Dik, mainnya udah selesai? Kakak mau pakek tamannya.” Nihil! Ia hanya menunduk menatap bola itu.

Samar-samar dari sudut mataku kini ada total tiga anak. Ada dua anak memakai baju merah dan memiliki wajah yang sama! Pertama yaitu anak yang kini ada di depanku  dan yang kedua masih sibuk bermain bola dengan temannya. Anak di depanku ini menunduk, melihat ke arah kakinya sambil tetap memegang bola.

“Dik!” Panggilku sekali lagi. Tatapannya berlahan berbalik ke arahku.

Wajahnya semakin pucat, matanya merah, dan tatapannya mencekam. Kurasakan udara menghembus semakin dingin. Pohon yang tadi tampak tenang kini mengeluarkan bunyi bersorak-sorak. Suara-suara cekikikan anak kecil terdengar dimana-mana. Terdengar bahagia namun tetap memeberikan kesan yang mengerikan.

Ku perhatikan kembali sosok anak kecil di depanku namun tubuhku tak bisa bergerak. Betapa terkejutnya aku ketika menyadari mata hitamnya perlahan berubah total menjadi putih. Bibirnya yang pucat perlahan mengalirkan darah segar, bahkan baunya menusuk hidung. Tawa anak kecil yang semakin nyaring perlahan berubah menjadi tangisan menjerit-jerit.

Seketika semua temanku yang daritadi tidak ku perhatikan menjerit sekencang-kencangnya, mereka berlari dengan menggunakan semua tenaga yang mereka miliki. Mendengar jeritan itu, tubuhku mulai bisa terkendali, kakiku mulai bisa ku gerakan namun terlambat! Tangan anak itu menggenggam tanganku erat. Bibirnya terbuka namun kembali tertutup seolah ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar dengan jelas. Ku ambil langkah secepat mungkin meninggalkan anak itu. Kini lariku sejajar dengan Bella yang berlari sambil menangis. Hanya Bella yang ada disampingku, entah dimana yang lainnya.

Sekarang aku berada pada gedung yang nampak seperti ruangan kelas. Terdapat rak kaca yang tertempel di tembok yang catnya mulai terkelupas. Aku dan Bella kini berada disana hanya berdua, ketakutan dan kehausan akibat berlari.

“BELL KENAPA TADI HAH??!” Ucapku dengan nada yang menyudutkan, menuntut jawaban dari Bella.

“Aku gatau.” Ucapnya dan kembali menangis. Tubuhnya bergetar hebat dengan keringat yang menetes dari keningnya. “Tadi Sena tiba-tiba jerit. Dia nunjuk dari tempat lo berdiri tadi. Disana ada nenek-nenek bungkuk, bawa tongkat, rambutnya putih terus nunjuk-nunjuk ke arah kita sambil ketawa kenceng banget.” Tutur Bella sambil mengacak rambutnya yang kini ia terlihat prustasi. Nenek apa? Dari arahku? Kenapa sedikitpun aku tidak melihatnya?

“Bell sebenernya..”

“AAAAAAAA….” Jerit Bella sambil menunjuk ke arah kotak kaca yang menempel pada dinding.

Ucapanku tercekat. Beberapa kepala tanpa badan nampak bermunculan dari kotak tersebut. Bau amis menyengat. Semakin lama kepala-kepala itu semakin bertambah banyak sampai berjatuhan di lantai. Darah mengalir di seluruh lantai dan mulai mendekat ke arah kami. Aku dan Bella mencoba berbalik namun entah darimana datangnya tembok menghadang jalan keluar kami.

Bella dan aku semakin menjerit. Darah semakin mendekat ke kaki kami dan kepala-kepala itu menatap kami sambil tersenyum. Bau amis darah menyebabkan aku pusing. Baunya kini tercampur dengan bau busuk ikan, bau dupa dan bau melati. Nyanyian-nyanyian nyaring juga terdengar dari berbagai arah diikuti dengan tawa serta tangisan anak kecil yang bercampur aduk. Kepalaku semakin terasa berputar kemudian perlahan semua berubah gelap. Sinar yang menyilaukan datang ketika mataku yang terpejam. Perlahan mataku terbuka akibat cahaya tersebut. Aku menghela nafas sekaligus agak terkejut.

Ternyata aku bermimpi dan cahaya tersebut adalah lampu kamarku. Di depanku kini berdiri sesosok wanita paruh baya.

“WOEE BANGUN!! KESIANGAN INI, KATANYA ADA PIKET UMUM!!” Suara ibuku melengking sambil menarik paksa selimut yang menutup setengah tubuhku.

.

.

.

 

PS : Cerita ini diambil dari kisah nyata yang sedikit dilebih-lebihkan:)

 

#cerpen #literasi #smk