Sebuah Senyum Sebelum Air Mata

Hai sobat SMK, kali ini da karya baru dari temen kita Ni Pande Putu Sonia Marthasia dari kelas XI AKL 1. karyanya berupa cerpen yang berjudul “Sebuah Senyum Sebelum Air Mata“.

Penasaran????

silahkan dibaca !!!

 

Sebuah Senyum Sebelum Air Mata

 

Rambutnya tergerai indah akibat cahaya matahari yang terik di siang hari ini, dari jauhpun sudah bisa ditebak kalau setiap minggu ia rajin ke salon untuk merawat mahkotanya itu. Bukan hanya rambut, tapi kulitnya yang berwarna sawo matang khas orang Indonesia itu juga tampak bersih dan mulus. Dengan kakinya yang jenjang, kaos kakinya yang pendek serta roknya yang selutut nampak seolah memamerkan kakinnya yang indah. Dengan penampilannya yang bersih dan terawat berbanding terbalik dengan tempat dimana sekarang ia menapakkan kakinya.

Pasar tradisional. Disanalah ia sekarang, melakukan kegiatan study lapangan untuk siswi jurusan keperawatan mengharuskannya untuk menganalisis lokasi di sekitarnya, menganalisis seberapa bersih dan sehat daerah sekitarnya, dan yang lebih penting, seberapa baik kebiasaan para pedagang ataupun pembeli dalam menjaga kebersihan. Suara antar pembeli dan pedagang masih saling bersautan di siang hari yang panas ini.

Pedagang yang masih sibuk menawarkan sisa jualannya yang belum habis ia jual ketika pagi. Pembeli yang datang kesiangan sibuk menawar barang sisa pagi tadi.

Dan Tasya, siswi jurusan keperawatan yang gusar ditempatnya duduk mengamati sekelilingnya.

Keringat yang menetes ia seka dengan cepat, lalat yang kadang hinggap ia usir dengan segera, dan bau busuk dari sampah ia antisipasi dengan parfum yang senantiasa dia genggam.

“Sya, balik yuk! Sumpah deh gue udah gak tahan, disini gerah banget.” Ucap Gifty, teman kelompok Tasya.

“Emang lo pikir gue gak gerah disini?! Lo aja yang gerah? Lo aja yang gak tahan? Lo gak liat keringet gue udah netes terus kayak mulut lo yang gak bosen ngebacot dari tadi?” Sambar Tasya yang dari tadi menahan emosinya mendengar omelan Gifty. Mendengar jawaban yang telak itu, tidak sedikitpun membuat Gifty bungkam. Walau tidak mengomel lagi, tapi Gifty tetap saja mengumpat pada dirinya sendiri.

Setelah mengambil beberapa gambar di tempat ini untuk bukti kunjungan, akhirnya Gifty bisa bernafas lega melihat Tasya kembali membawa kamera yang berisi beberapa foto itu. Namun pelangi yang muncul di siang bolong itu tiba-tiba meleleh ketika seorang nenek tua membawa nampan berisi beberapa sayuran menghampiri mereka.

Nenek itu berjalan dengan bungkuk ditambah nafasnya yang tidak beraturan terdengar jelas ketika ia sudah mendekati dua bidadari ini.

“Neng sayurnya neng.” Tawar nenek itu lembut sambil tetap memamerkan senyumnya yang sudah tak lagi indah dimakan usia.

“Saya gak makan sayur gitu nek, maaf.” Tolak Gifty sambil menelan ludah melihat sayur yang layu itu.

“Nenek kasi murah neng, sudah siang, dari pagi nenek belum dapet pembeli.” Tawar nenek itu sekali lagi sambil sesekali menarik nafasnya yang sesak.

“Kok maksa sih? Dibilangin halus gak ngerti, dikasarin salah. Makanya dulu itu sekolah dulu biar ngerti omongan orang.”

“Udah udah diem lo!” Lerai Tasya meredam emosi Gifty yang sudah lebih panas dari cuaca hari ini. “Sini nek, saya bayar.” Ucap Tasya sambil tersenyum yang juga menular ke nenek di depannya. Dengan segera nenek itu membungkus sayuran dengan tas kresek hitam lecek yang ia genggam.

“Maaf neng, nenek gak ada kembalian.” Tuturnya ketika melihat selembar uang berwarna biru yang Tasya keluarkan dari kantong roknya yang ketat.

“Gak apa nek, ambil aja.” Jawab Tasya yang semakin tersenyum sembari memamerkan giginya yang putih tertata rapi.

“Yaa Tuhan.. terimakasih ya Neng.”

Nenek tua yang senyumnya yang tidak juga luntur itu memasuki apotek tergesa-gesa. Mengharapkan agar uang hasil berjualannya tadi bisa ia gunakan untuk mengasihani tubuhnya yang sudah sakit-sakitan.

“Iyaa nek, ada yang bisa saya bantu?” Sapa ramah si pegawai apotek yang di kunjungi nenek itu.

“Saya mau nyari obat sesak Neng, ada?”

“Ada nek, tunggu sebentar saya ambilkan. Silahkan duduk dulu nek.” Tawar pegawai itu sopan yang prihatin melihat wanita tua itu yang sudah seharusnya bermain di rumah bersama cucunya, menghabiskan masa tuanya bersama keluarga dan mendapatkan perawatan selayaknya. Bukan malah mengais rezeki lalu merawat dirinya sendiri.

“Ini nek obatnya.” Ucap pegawai itu beberapa menit kemudian setelah kembali dari lemari tempatnya mengambil obat yang sudah terbungkus kantong kresek.

Dengan sumringah nenek itupun langsung menyerahkan uang hasil berjualannya tadi. Setelah menerima uang itu, si pegawai apotek hanya terdiam.

Matanya hanya fokus menatap uang berwarna biru cerah yang nenek tadi serahkan. Mulutnya terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu namun kembali ia urungkan.

Setelah menarik nafas akhirnya hanya terdengar suara lembut dari bibir pegawai itu.

“Nek..”

“Iya Neng? Kenapa?” Tanya nenek itu polos.

“Nenek tadi jualan?”

“Iya Neng.”

“Uangnya nenek pakai beli obat saja ya? Nenek udah makan?”

“Iya Neng, uangnya cuma cukup buat nenek beli obat. Paginya nenek udah biasa gak makan, selesai jualan nanti kalau ada sisa sayur baru nenek masak.” Mendengar hal itu perlahan air mata pegawai itu membasahi pipinya.

“Neng gak papa, nenek udah biasa kok. Udah dari dulu tinggal sendiri gak ada keluarga. Semuanya udah pada nikah. Hahahaha.” Tutur nenek itu terlihat bersyukur sambil tertawa walau sebenarnya rasa kesepian terus menghantuinya setiap malam.

“Maaf ya nek, maaf.” Ucap pegawai itu sambil mencoba menahan air matanya yang semakin menetes. “Nek, ini uang palsu…”

Hening.

Tangan nenek yang sudah keriput itu bergetar di ikuti dengan bahunya yang juga bergetar. Kepalanya menunduk menatap alas kakinya yang berisi beberapa jahitan. Perlahan lantai apotek terlihat beberapa tetes air mata dari nenek tua itu.

“Nenek salah apa yaa.. Neng sampe diperlakukan begini. Kenapa ya Neng nenek belum bisa merasakan bahagia yang tulus. Selalu saja nenek diperlakukan seperti orang bodoh. Apa menjadi pedagang itu salah ya Neng? Apa menjadi pedagang itu kriminal ya Neng?” Ucapnya lalu kembali terisak. Tangannya yang sudah keriput ia gunakan untuk menyeka air matanya yang tidak henti-hentinya menangis meratapi nasibnya yang seolah tidak ada belas kasihan. Jangankan untuk merawat dirinya, untuk mengisi perutnya yang kelaparan saja belum sanggup ia lakukan.

Memberi bukannya untuk merasa telah mampu, tapi hanya sekedar membagi senyuman.

Banyak orang yang tidak sadar ketika kita memberi, hanya senyuman si penerima-lah kepuasan yang sesungguhnya, bukan balasan yang diharapkan sebelumnya.

 

#karyasiswa

#literasi

#cerpen